Kegiatan YKM


acara buka puasa bersama H. Alex Noerdin (Bupati Musi Banyu Asin)

foto haul Kyai Marogan

Masjid Tua di Palembang

Selain Masjid Agung, ada beberapa masjid tua lain di Palembang yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang atau setelahnya. Komponen arsitektur utama masjid-masjid itu umumnya menginduk kepada bentuk Masjid Agung, tetapi ukurannya lebih kecil. Beberapa masjid itu juga memiliki sejarah unik dan peran penting dalam pertumbuhan agama Islam di Palembang dan sekitarnya.

Masjid-masjid itu antara lain Masjid Muara Ogan, Masjid Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Sungai Lumpur. Masjid Muara Ogan dibangun di sudut Sungai Ogan dan Sungai Musi, termasuk Kecamatan Kertapati, sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Palembang. Saudagar Masagung Abdul Hamid, yang dikenal sebagai Kiai Muara Ogan, mendirikan masjid itu tahun 1889. Nama masjid merujuk pada sebutan Kiai Muara Ogan.

Masjid Lawang Kidul terdapat di Kelurahan 5 Ilir, di tepi Sungai Musi. Masjid ini juga didirikan Kiai Muara Ogan tahun 1881 dengan nama Masjid Mujahidin, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Lawang Kidul. Masjid Suro terletak di Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, sekarang bernama Masjid Mahmudiyah. Masjid ini didirikan Kiagus H Mahmud Khatib dan Kiai Delamat, murid Kiai Muara Ogan, tahun 1906.

Bentuk bangunan utama Masjid Muara Ogan, Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Sungai Lumpur secara umum menyerupai bentuk Masjid Agung. Masjid-masjid ini juga menyerap budaya China, Jawa, Arab, Eropa, dan Palembang dalam bentuk yang padu.

Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami ma’rifat, mengenal hakikat Tuhan.

Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir.

Pengembangan Pariwisata Kota Palembang

Oleh: Drs Mirza Fansyuri, M.Pd,
Dosen Sejarah FKIP & Universitas PGRI Palembang.

MENYIMAK aktivitas pariwisata Kota Palem-bang yang hanya mengandalkan kegiatan pariwisata unggulan dan bersifat insidental, menyebabkan lambannya perkembangan pariwisata. Sehingga, harapan meraih Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini sulit dicapai. Padahal, berdasarkan temuan penulis, ada begitu banyak potensi wisata yang dapat ditawarkan sebagai alternatif pengembangan pariwisata, antara lain:
l Benteng Kuto Besak
Gugusan ini meliputi kawasan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II, Jembatan Ampera, Monumen Perjuangan Rakyat Sumatera Bagian Selatan (Monpera), Benteng Kuto Besak, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Menara Air, kawasan kerajinan kayu khas Palembang di Jalan Fiqih Jalaludin dan Pasar 16 Ilir, Pasar Sekanak kawasan ini jika dikelola dengan profesional maka Palembang akan memiliki sebuah kawasan wisata terpadu.
Wisatawan dapat memulai aktivitasnya dengan memarkir kendaraan di kawasan Nusa Indah, kemudian dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: Apabila kedatangan betepatan dengan waktu shalat bagi yang Islam, mereka dapat shalat di Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin sambil menikmati keindahannya. Setelah itu mereka dapat mengunjungi Tugu Monpera, terus ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, lalu menikmati keindahan Jembatan Ampera sambil melihat kesibukan masyarakat Palembang di Sungai Musi dari atas Jembatan Ampera.
Dari atas jembatan Ampera, wisatawan dapat terus menelusuri lorong-lorong yang ada dalam Benteng Kuto Besak (tentu saja Kondisi Benteng Kuto Besak dikembalikan dulu ke kondisi aslinya) agar dapat �dijual� kepada wisatawan, kemudian ke arah Barat menyusuri Jalan Sultan Mahmud Badaruddin atau berhenti di Dermaga Benteng Kuto Besak, dan melanjutkan kegiatan dengan wisata Sungai Musi. Bagi wisatawan yang meneruskan wisata ke Barat Benteng menyusuri Jalan Sekanak dapat mampir sejenak di Balai Pertemuan sambil menikmati berbagai makanaan khas Palembang, seperti pempek, model, tekwan, lakso, laksan, burgo, dan kemplang.
Selanjutnya meneruskan perjalanan dengan mengunjungi menara air, lalu memasuki kawasan Jalan Merdeka. Di sini wisatawan diberikan pilihan naik perahu ketek menyusuri Sungai Sekanak ke Selatan kemudian belanja di Pasar Tradisional Sekanak atau meneruskan menelusuri Jalan Merdeka ke Timur, terus jalan Faqih Jalaluddin, membeli souvenir khas Palembang.
Dari depan Benteng Kuto Besak wisatawan, yang ingin meneruskan perjalan ke Timur dapat mengunjungi pasar tradisional, yaitu Pasar 16 Ilir yang menyediakan berbagai barang-barang kebutuhan (apabila kondisi pasar tidak dapat dipertahankan tidaklah salah jika gedung Pasar 16 Ilir ini diubah menjadi hotel). Pada kawasan bawah jembatan Ampera dapat ditata untuk dijadikan counter atau bursa barang-barang kerajinan dari pengrajin kecil.
Kawasan Benteng Kuto Besak akan lebih berpotensi, jika dijadikan kawasan terpadu, bebas dari kendaraan bermotor. Pengunjung yang datang disediakan kendaraan berupa sepeda sewaan atau berjalan kaki.
l Bukit Siguntang
Gugusan ini meliputi Bukit Siguntang, Jembatan Musi II, Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, masjid Al-Mahmudiah, kawasan kerajinan songket, Kelurahan 30 Ilir, 31 Ilir, 32 Ilir, dan Mushab Al Quran terbesar di dunia. Wisatawan dapat memulai aktifitasnya dari kawasan Bukit Siguntang. Di bukit ini terdapat makam-makam keramat yang konon kabarnya adalah asal-usul Puak melayu di Asia Tenggara, yaitu makam� Raja Segentar Alam (Hindu), Putri Rambut Selaka (Hindu-Budha), Putri Kembang Dadar (Islam), Panglima Bagus Karang (Islam), Panglima Bagus Kuning (Islam) Pangeran Raja Batu Api (Hindu, Budha), Pangeran Tuan Junjungan (Islam). Ketujuh makam ini adalah peninggalan kerajaan Sriwijaya.
Wisata Air
Gugus wisata air maksudnya adalah perjalanan wisata di Sungai Musi. Wisata air di Sungai Musi dapat dibagi menjadi dua paket, yaitu:
l Paket 1
Gugusaan wisata air paket 1 ini meliputi: Dermaga Benteng Kuto Besak, Pelabuhan 35 Ilir, Masjid Muara Ogan, Rumah Rakit, Perkampungan Islam Tionghoa, Dermaga 7 Ulu, perkampungan Kapiten. Wisatawan dapat memulai aktifitasnya dari Dermaga Benteng Kuto Besak, dengan menyewa perahu, disini perahu dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan, waktu dan jumlah rombongan wisatawan dapat memilih perahu Getek, Speed Boat, Tongkang Wisata, Kapal Pesiar atau Jet Ski.
Dari Dermaga Benteng Kuto Besak wisatawan dapat menentukan ke arah mana yang dikehendaki. Kalau menurut penulis alternatif terbaik adalah sebagai berikut: Terlebih dahulu adalah mengunjungi Masjid Muara Ogan, disini wisatawan dapat berziarah ke makam Kyai Muara Ogan yang terletak di samping masjid dan melaksanakan shalat.
Setelah itu perjalanan diteruskan ke Dermaga 35 Ilir untuk mengunjungi pusat kerajinan Songket Palembang, kemudian menyusuri tepian Selatan Sungai Musi, melihat Rumah Rakit sambil berbelanja berbagai barang dan makanan khas Palembang yang dijual di rumah-rumah rakit. Menikmati pempek, model, tekwan diatas caeger-cage rumah rakut yang berayun-ayun diterpa gelombang Sungai Musi akan merupakan kenangan yang tak terlupakan. Bahkan kalau memungkinkan rumah rakit dapat dikembangkan menjadi Mall Terapung. Kalau potensi ini dikelola secara aprogesional Rumah Rakit dapat mengalahakan Clark Quay kawasan wisata sungai yang sangat terkenal di Singapura.
Dari Rumah Rakit wisatawan naik melalui Dermaga 7 Ulu lalu mengunjungi Perkempungan Muslim Tionghoa dan Perkampungan Kapiten, dua buah perkampungan budaya yang diharapkan akan menjadi pesona tersendiri dari segi antropologi. Kemudian wisatawan dapat kembali ke Dermaga Benteng Kuto Besak untuk kemudian beristirahat di hotel atau penginapan di sepanajang jalan Merdeka atau ke hotel bekas pasar 16 Ilir yang legendari di tepi Sungai Musi.
l Paket 2
Gugusan wisata air paket 2 ini meliputi: Dermaga Benteng Kuto Besak, Pelahuban Boom Baru, Masjid Lawang Kidul, Perkampungan Arab 14-15 Ulu, dan Pulau Kemaro. Wisatawan dapat memulai aktifitasnya dari dermaga Benteng Kuto Besak dengan memilih jenis perahu yang akan dijadikan kendaraan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi seperti telah dikemukakan di atas.
Dari Dermaga Benteng Kuto Besak wisatawan dapat mengunjungi pelabuhan Boom Baru, kemudian mengunjungi masjid Lawang Kidul melihat keunikan arsiteknya dan shalat, lalu menyeberang mengunjungi perkampungan budaya yaitu Perkampungan Arab 14-15 Ulu, berbelanja souvenir, menikmati hentakan kaki penari dzafin.
Dari beberapa alternatif di atas apabila dilakukan dengan kesungguhan, bukan mustahil untuk dapat diwujudkan. Ditambah dengan program pariwisata yang ada, maka dinamika pariwisata di Kota Palembang akan lebih representatif. Barangkali bukanlah suatu �dosa� bagi pemerintah Kota Palembang untuk menggandeng pihak swasta menanamkan modalnya di sektor pariwisata.
Salah satu strategi pengembangan pariwisata di Kota Palembang adalah menjadikan pariwisata sebagai mata pelajaran muatan lokal, sebagai sarana sosialisasi semua kebijakan tentang pariwisata, sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Umum.

Makna Peninggalan Arkeologi dari Masagus Haji Abdul Hamid bin Masagus Haji Mahmud

Oleh : Mujib

Masagus Haji Abdul Hamid dilahirkan di kampung 5 Ilir, Palembang pada kurang lebih tahun 1811 M. Ia anak Masagus Haji Mahmud alias Kanang, seorang keturunan bangsawan Palembang yang menikah dengan seorang wanita Cina. Beliau termasuk salah seorang ulama yang gigih dan tekun menyiarkan agama Islam. Disamping mengajar di Masjid Agung Palembang sekaligus Imam, ia juga seorang yang andal dalam menguasai hukum Islam, ilmu Falaq, ilmu tentang peredaran bintang dikuasainya dengan baik.

Ide dan gagasan yang begitu cemerlang itu diwujudkannya dalam karya yang menghsailkan berbagai tinggalan arkeologi yang sangat bermanfaat bagi kemajuan Islam di masa-masa kemudian, diantaranya adalah Masjid Mujahiddin di Lawangkidul, Masjid Jami Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud di Muara Ogan, Naskah daftar surat-surat yang dibaca pada waktu sholat wajib lima waktu (Naskah I), Naskah jadwal waktu sholat wajib lima waktu (Naskah II), Naskah perpaduan antara Naskah I dan Naskah II. Berdasarkan peninggalannya-peninggalan tersebut dapat diambil suatu makna bahwa Masagus Haji Abdul Hamid adalah seorang yang mempunyai dan menguasai kemampuan dan strategi dakwah Islam. Bagi umat Islam Palembang seluruh tinggalan Masagus Haji Abdul Hamid dianggap sebagai rahmat tersendiri sebagai sarana dan wahana peribadatan dan pengembangan nilai-nilai keislaman.

masjid marogan


Masjid ini dibangun lebih dahulu daripada Masjid Lang Kidul. Pada masa lalu, daerah tempat berdirinya masjid dengan atap bertumpang dua dan puncak mustaka -?sama dengan Masjid Lawang Kidul?ini bernama Kampung Karang Berahi. Apakah memang karakter lokasi masjid pada zaman itu ataukah memang kekhasan Kiai Merogan, masjid ini terletak di muara Sungai Ogan ke Sungai Musi. Jika diamati, posisinya yang demikian, juga ketinggian tanah yang lebih dibanding lahan sekitarnya itu sama persis dengan Masjid Lawang Kidul. Letaknya sekitar 13 meter dari Sungai Musi dan 75 meter sebelah selatan Sungai Ogan. Penamaannya diambil dari nama julukan bagi ulama besar Palembang yang bernama lengkap Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud. Ukuran asli masjid ini ?sebelum dilakukan renovasi dan perluasan?adalah 18,8 m X 19,4 m. Sama seperti Masjid Lawang Kidul dan Masjid Sungai Lumpur, bangunannya disangga empat saka guru berbentuk persegi delapan berukuran 0,3 X 0,27 m. Tingginya mencapai 5 meter. Saka guru dikelilingi dua belas tiang penunjang setinggi 4,2 meter dan besar 0,25 m x 0,25 m. Bagian-bagian masjid sebagian besar masih asli. Antara lain, saka guru dan 12 tiang penunjangnya, rangka bangunan atap, langit-langit, dan kuda-kuda. Mimbar khas masjid ini juga masih menampakkan keaslian, baik bahan maupun hiasannya. Di samping itu, beduk yang digunakan hingga sekarang ?berukuran panjang 2,5 m dan berdiameter 0,8 meter. Meskipun terletak di tanah yang lebih tinggi dibandingkan lahan sekitarnya, menurut keterangan masyarakat dan keluarga sang ulama, lahan masjid ini awalnya adalah lebak. Kemudian, saat masjid didirkan, dilakukan penimbunan hingga tanahnya mengeras. Sedangkan makam Kiai Merogan (wafat tahun 1882 M), terletak di sebelah kanan masjid. Makam dengan ukuran 1,75 meter dan lebar 0,82 meter ini, sampai sekarang masih sering dikunjungi peziarah.

mimbar masjid marogan


Mengenang Kemuliaan, Menjadi Suri Teladan

(Sripo, Minggu 28 Agustus 2005) SAMPAI kini, Kiai Merogan yang bernama asli masagus H Abdul Hamid bin Masagus H Mahmud masih dikenang dan makamnya selalu dipadati penziarah. Lebih dari itu, Kiai Merogan adalah sosok yang memiliki kemuliaan hati. Ia selalu berbuat baik kepada masyarakat dan menyantuni fakir miskin. Wawancara Sripo dengan sejumlah keturunan Kiai Merogan juga memberikan banyak gambaran tentang kebesaran tokoh itu. Pengelola Yayasan Kiai Merogan, Masagus Ahmad Fauzi --cicit Kiai Merogan—mengatakan bahwa Kiai Merogan merupakan perintis dakwah dan sesepuh wong Plembang. Menurutnya, suatu hari Kiai Merogan berkeinginan hijrah ke Masjid Aqsha. Namun, ia mendapat petunjuk bahwa negerinya masih sangat membutuhkannya. Lalu, ia kembali ke Palembang dan berdakwah. Pada tahun 1819, terjadi perang Menteng yang menyebabkan gugurnya banyak ulama di Palembang dan pada 1823, secara resmi Belanda menguasai Palembang. Saat itulah, Kiai Merogan Dari Haul ke-105 Kiai Merogan mengembangkan dakwah ke seantero Sumatera Selatan. “Uniknya, ia melakukan perjalanan dakwah dengan menggunakan perahu yang didayung oleh santri-santrinya,” ujar Ahmad Fauzi. Sejumlah daerah yang dikunjunginya, antara lain Pemulutan, Belida, Airitam, dan banyak lagi daerah lainnya. Metode dakwahnya juga sangat efektif, yaitu selalu membangun masjid atau langgar sebagai tempat ibadah dan kegiatan dakwah di berbagai tempat yang dikunjunginya. Pembangunannya dengan menggunakan biaya sendiri yang dihasilkan dari kegiatan berdagang kayu. Wariskan Masjid APA peninggalan intelektual Kiai Merogan? Menurut teks pengantar Haul Kiai Merogan ke-105 21 Agustus lalu, disebutkan bahwa ia pernah menulis kitab tasawuf. “Tapi, peninggalan fisik kitab itu baru sebatas penuturan. Kitab-kitab beliau tidak terpelihara dengan baik oleh keturunannya,” ujar Ahmad Fauzi. Ulama yang wafat pada 17 Rajab 1319 H atau 31 Oktober 1901 M itu, hanya meninggalkan sejumlah masjid. Antara lain Masjid Jami’ Muaraogan Kertapati, Masjid Lawangkidul 5 Ilir, Masjid di Dusun Pedu Pemulutan, masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama, Pegagan Ilir OKI, mushala di 5 Ulu laut, Masjid Sungai Rotan Jejawi, Masjid Talang Pangeran Pemulutan, dan lainnya. Ulama yang menguasai ilmu tarekat Sammaniyah, ilmu fiqh dan Al-hadits itu menjadikan masjid sebagai markas dakwahnya. Di Palembang, Masjid Jami’ Muaraogan, dan Masjid Lawangkidul merupakan markas dakwahnya yang sangat berpengaruh. Dari kedua masjid itu, dengan menggunakan perahu, Kiai Merogan bolak-balik menyebarkan misi dakwahnya. Makam Kiai Merogan yang banyak diziarahi warga Palembang dan luar Palembang terletak di Kompleks Masjid Jami’ Muaraogan, Kertapati. Kiai Merogan merupakan putra Mgs H Mahmud alias Kanang yang masih keturunan priyayi era Kesultanan Palembang Darussalam (KPD). Di tengah eratnya hubungan agama Islam-KPD kala itu, Kiai Merogan mendapatkan pendidikan agama yang sangat baik.

Didirikan di Atas Rawa-rawa


(Sripo, Senin/16 Oktober 2006)
MASJID yang satu ini telah terkenal bahkan sampai di manca
negara. Seringkali wisatawan dari negara tetangga mengunjungi
masjid ini sekaligus berziarah ke makam pendirinya. Masjid Muara Ogan, masjid
yang terletak di pinggiran Sungai Musi ini merupakan satu dari dua
masjid tua yang didirikan Kiai Muara Ogan. Menurut sejarah,
selain Masjid Muara Ogan, kiai bernama asli Mgs Abd.Hamid Bin
Mahmud ini juga mendirikan masjid Lawang Kidul di seberang
ilir sungai musi. Mengenai nama masjid ini,
Mgs Usman Ahmad, pengurus masjid mengatakan, pada mulanya
masjid ini didirikan di atas rawa-rawa di muara Sungai
Ogan, makanya dinamakan Masjid Muara Ogan. Menurut
Usman masjid ini pada saat didirikan tahun 1871 luasnya hanya
sekitar 18 x 20 meter persegi. Namun setelah dua kali
direnovasi luasnya bertambah menjadi 40 x 30 meter persegi.
Saat dikunjungi Selasa (10/10) masjid yang disamping kirinya
terdapat makam Kiai Muara Ogan ini sedang direnovasi.
Informasi yang didapat renovasi ini merupakan bantuan
dari tokoh masyarakat Palembang, Kms H Halim, yang
sebelumnya pada tahun 1989 juga telah membiayai renovasi
masjid ini. Di bagian barat masjid tepatnya
di depan mihrab terdapat dermaga, sebagai jalan masuk
menuju masjid melalui sungai. Sebagai mana masjid tua di Palembang
lainnya, masjid ini ditopang oleh tiang-tiang berbentuk
persegi delapan. Menurut Drs Mgs Ilham jumlah tiang
yang lima belas tersebut sesuai dengan jumlah cucu dari masing-
masing anak Kiai Muara Ogan. Ilham yang merupakan salah
satu keturunan Kiai Muara Ogan menyayangkan banyaknya bagian
masjid yang telah berganti bentuk. Menurutnya seharusnya
pada saat renovasi bagianbagian asli masjid tetap dipertahankan,
atau jika diganti bentuknya tetap seperti semula.
Saat ini tambahnya, hanya beberapa bagian saja termasuk
mimbar dan beduk yang masih asli, sisanya sudah diganti.

Pulang Karena Dua Anak Yatim

Haul ke 101 Ki Merogan (Sripo, Senin, 04 November 2002)

ALUNAN suara jemaah membaca surah yaasin yang dilanjutkan tahlil menggema dari dalam masjid tua di Lawang Kidul, 5 Ilir, Palembang. Suara yang keluar dari mulut para ulama berpadu dengan suara jemaah masjid menandai haul wafatnya Kiai Muara Ogan atau yang lebih dikenal Ki Merogan ke-101, Sabtu (2/10) di Masjid Lawang Kidul.Haul yang berlangsung dalam suasana sederhana serta hikmad dihadiri beberapa ulama dari berbagai wilayah di Palembang. Itu membuktikan Ki Merogan merupakan ulama di Palembang yang mempunyai pengaruh baik di masanya sampai dengan kini. Di antara ulama yang hadir antara lain KH Ahmad Syafei Yunus dari 8 Ilir, M Nurdin Mansur (1 Ulu), Ustadz Habib Ubaidillah (10 Ilir), Ahmad Umar (5 Ilir) serta beberapa ulama lain yang turut diundang.Haul wafatnya Ki Merogan yang wafat 31 Oktober 1901 merupakan acara rutin tahunan. 2001 lalu telah dilaksanakan di Masjid Ki Merogan, Kertapati dan tahun ini dilakukan di Masjid Lawang Kidul. Di tempat ini, selain membaca surah yaasin dan tahlil, haul juga diisi ceramah agama tentang teladan sikap seorang kiai. Ceramah disampaikan dua ustadz masing-masing Kiai Haji Ali Umar Toyib dan Habib Kiai Haji Umar Abdul Aziz Syahab.Sementara dalam penuturan singkat riwayat Ki Merogan, Ketua Pengurus Kerukunan Keluarga Kiai Muara Ogan, Mgs Ahmad Fauzi, SPd kepada Sripo mengatakan peninggalan Ki Merogan yang masih dapat disaksikan berupa dua masjid yang sampai saat ini masih berdiri kokoh. Masjid itu masing-masing adalah Masjid Lawang Kidul di 5 Ilir serta Masjid Ki Merogan di Kertapati.Dalam riwayatnya, Ki Merogan yang juga bernama Masagus Haji Abdul Hamid awalnya bermukim di tanah Arab sebelum memutuskan kembali ke Palembang. “Di sana waktu mau pulang sempat ditahan keluarganya. Namun ia berkeinginan besar pulang ke Palembang. Katanya ia meninggalkan dua anak yatim yang ternyata kemudian diketahui dua anak yatim itu adalah dua masjid yang pernah dibangunnya,” papar Ahmad Fauzi.Di zaman pemerintahan Belanda, jemaah Masjid Lawang Kidul pernah dilarang menunaikan Shalat Jumat oleh pemerintah Belanda. Tetapi dengan kegigihan Ki Merogan dibantu sahabatnya antara lain Syech Khatib Minangkabau akhirnya Shalat Jumat tetap dapat terlaksana.Menurut Ahmad Fauzi riwayat hidup dan cerita seputar Ki Merogan umumnya diketahui dari mulut ke mulut. Cerita lain tentang Ki Merogan yakni tentang pembuktian di hadapan Belanda bahwa di mana ada air di situ ada kehidupan. Itu dibuktikan dengan membelah kelapa dan terbukti dalam kelapa terdapat ikan.Acara haul tersebut, kata Ahmad Fauzi, diharapkan dapat membina moral generasi muda dengan mencontoh sikap rela berkorban untuk kepentingan agama. (sugeng hariadi)

Beriktikaf hingga Mohon Doa Selama Ramadan


Masjid Kiai Muara Ogan, Wong Plembang biasa menyebutnya Ki Merogan, merupakan salah satu masjid bersejarah. Masjid yang dibangun masa penjajahan Belanda atau sekitar tahun 1871, kini sudah berusia lebih dari 135 tahun. Selama kurun waktu itu, masjid yang didirikan Mgs H Abdul Hamid bin Mahmud, baru tiga kali direnovasi. Renovasi pertama pada masjid yang ukuran 30 m x 30 m ini sekitar tahun 1950. Saat itu, pemugaran dilakukan secara besar-besaran, termasuk merubah bentuk kubah. Kemudian pada 1989, bentuk asli masjid dikembalikan kembali. Saat itu, pembangunan masjid yang didanai sepenuhnya oleh pengusaha kaya H Halim, diresmikan oleh Menteri Kehutanan RI Ir Hasrul Harahap. Terakhir, pemugaran dilakukan pada 2006, yang juga didanai oleh H Halim. Disebut Muara Ogan, karena masjid ini terletak di pinggir sungai, yang merupakan pertemuan aliran Sungai Ogan dan Sungai Musi. Karenanya, masjid tersebut disebut Muara Ogan.Ketua Yayasan Masjid Kiai Muara Ogan yang juga merupakan keturunan ketiga pendiri Masjid Mgs Usman Ahmad, kepada koran ini menuturkan, pendiri Masjid Muara Ogan merupakan orang ternama, sekaligus pengusaha kayu terbesar. Selama hidupnya, Mgs Abdul Hamid lebih memilih ke bidang dakwah dari pada bisnis. Tak heran dalam rentang waktu hidupnya antara 1810–1901, Mgs Abdul Hamid sudah mendirikan dua buah masjid, satunya lagi Masjdi Lawang Kidul yang berada di Kecamatan Ilir Timur (IT) II. Soal jemaah, ditambahkannya, yang berkunjung ke masjid ini bukan hanya dari Kota Palembang, tapi juga berasal dari luar kota. Jumlahnya pun tidak sedikit, apalagi pada Bulan Ramadan ini. Gelombang jemaah terus berdatangan silih berganti, mulai pagi hari, hingga saat berbuka puasa. Umumnya jemaah datang untuk berziarah. Sebab, dalam bangunan masjid tersebut, terdapat Makam Kiai Muara Ogan beserta zuriatnya. “Para penziarah datang ke sini untuk berdoa. Karena pada bulan Ramadan, makam para wali di jaga langsung oleh malaikat. Karenanya, para penziarah berdoa di tempat ini dengan harapan doa mereka diterima Allah SWT,” jelasnya. Doa mereka pun beragam, mulai dari menginginkan kerukunan dalam rumah tangga, berharap jodoh, dan meminta ampunan kepada Allah SWT. “Tapi yang perlu diingat, para jemaah tersebut berdoa bukan pada Kiai Muara Ogan, tetapi berdoa langsung kepada Allah, hanya saja tempatnya dilakukan di sini,” bebernya. Cukup sampai di situ? Ternyata tidak. Pada bulan Ramadhan, masjid ini juga melakukan berbagai ritual keagamaan seperti salat Tarawih berjemaah, tadarus Alquran, ceramah Subuh, hingga buka puasa bersama. Khusus buka puasa, pengurus masjid sudah mempersiapkan hidangan gratis. “Yang datang bukan hanya penduduk sekitar masjid, tetapi penduduk pendatang (musafir, red) juga kita terima. Dengan suasana kekeluargaan, kami merayakan buka puasa bersama di masjid ini,” terangnya. (32)

Belajar Pluralisme dari Masjid-masjid Palembang

Oleh: Ilham Khoiri
(Sumber: Kompas)

Arsitektur masjid-masjid tua di Kota Palembang, Sumatera Selatan, menggambarkan semangat pluralisme yang sangat maju pada zamannya. Unsur budaya Arab, Jawa, China, dan Eropa diserap dan dipadukan dalam arsitektur bangunan dengan komposisi yang harmonis. Harmonisasi bentuk itu disatukan pada kebutuhan untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi orang yang beribadah di dalamnya.Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi landmark kota hingga sekarang.Keberadaan Masjid Agung tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Kesultanan Palembang Darussalam pada abad XVI hingga abad XIX. Budayawan Djohan Hanafiah dalam buku Masjid Agung Palembang: Sejarah dan Masa Depannya (1988) menyebutkan, Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah Kesultanan Palembang Darussalam tahun 1724-1758.Tidak seperti dalam tradisi Jawa, masjid itu justru dibangun di belakang keraton dan Benteng Kuto Besak yang menghadap ke Sungai Musi.Tahap pertama pembangunan berlangsung dari tahun 1738 hingga 1748. Mulanya masjid didirikan tanpa menara. Sultan Najamuddin I, putra Sultan Mahmud Badaruddin I, lalu membangun menara di sebelah kanan depan, berbentuk segi enam setinggi sekitar 20 meter.Masjid itu terus mengalami renovasi yang menambahkan beberapa unsur lain dalam bangunan. Renovasi terakhir dilakukan pada masa Gubernur Sumsel Rosihan Arsyad, dan diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, Juni 2003.Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.Sosok Masjid Agung saat ini cukup mencolok di tengah Kota Palembang yang semakin padat dan semrawut. Masjid berbentuk bujur sangkar dan bangunan utama berundak tiga dengan puncak atau mustaka berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak memiliki semacam leher yang jenjang yang dihiasi ukiran bermotif bunga. Pada puncak mustaka terdapat mustika berbentuk bunga merekah. Bentuk berundak dipengaruhi bentuk dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak yang dipercaya didirikan Wali Songo, penyebar Islam di Jawa.Di atas sisi limas terdapat jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung, sebanyak 13 setiap sisinya. Jurai yang berwarna emas itu berbentuk melengkung dan lancip. Tak pelak lagi, bentuk dasar jurai itu menyerupai atap kelenteng.Jendela masjid dibuat besar-besar dan tinggi, sedangkan tiang masjid dibuat kokoh dan besar. Pilihan ini menimbulkan kesan seperti umumnya arsitektur Eropa. Gaya itu juga banyak ditemui pada bangunan Indies, yang dibuat semasa Indonesia dijajah Belanda sekitar abad XVIII hingga awal abad XX.Masjid tua lainSelain Masjid Agung, ada beberapa masjid tua lain di Palembang yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang atau setelahnya. Komponen arsitektur utama masjid-masjid itu umumnya menginduk kepada bentuk Masjid Agung, tetapi ukurannya lebih kecil. Beberapa masjid itu juga memiliki sejarah unik dan peran penting dalam pertumbuhan agama Islam di Palembang dan sekitarnya.Masjid-masjid itu antara lain Masjid Muara Ogan, Masjid Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Sungai Lumpur. Masjid Muara Ogan dibangun di sudut Sungai Ogan dan Sungai Musi, termasuk Kecamatan Kertapati, sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Palembang. Saudagar Masagung Abdul Hamid, yang dikenal sebagai Kiai Muara Ogan, mendirikan masjid itu tahun 1889. Nama masjid merujuk pada sebutan Kiai Muara Ogan.Masjid Lawang Kidul terdapat di Kelurahan 5 Ilir, di tepi Sungai Musi. Masjid ini juga didirikan Kiai Muara Ogan tahun 1881 dengan nama Masjid Mujahidin, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Lawang Kidul. Masjid Suro terletak di Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, sekarang bernama Masjid Mahmudiyah. Masjid ini didirikan Kiagus H Mahmud Khatib dan Kiai Delamat, murid Kiai Muara Ogan, tahun 1906.Ada lagi Masjid Sungai Lumpur yang didirikan Said Abdullah bin Salim al-Kaff di Kampung 14 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II. Daerah itu termasuk kawasan komunitas keturunan Arab.Bentuk bangunan utama Masjid Muara Ogan, Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Sungai Lumpur secara umum menyerupai bentuk Masjid Agung. Masjid-masjid ini juga menyerap budaya China, Jawa, Arab, Eropa, dan Palembang dalam bentuk yang padu.Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami ma’rifat, mengenal hakikat Tuhan.Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir

Masjid Tua Butuh Sentuhan


SRIWIJAYA POSTMinggu, 24 September 2006  FOKUS
KEBERADAAN masjid-masjid
tua di Kota Palembang sampai
saat ini masih tetap menjadi
tempat ibadah utama masyarakat.
Beberapa bangunan
masjid tua ini sudah banyak
yang mengalami penambahan
dari bangunan aslinya. Tetapi
ada juga bangunan awalnya tidak
diubah. Hanya direnovasi
dan pergantian bahan dari kayu
ke beton semen atau penambahan
bangunan baru yang
mengelilinginya untuk menampung
jumlah jamaah yang
terus bertambah.
Perluasan dan penambahan
bangunan baru masjid-masjid
tua itu dilakukan untuk menampung
bertambahnya jamaah,
khususnya jamaah sholat
Jumat dan tarawih di Bulan Suci
Ramadhan. Contoh yang dapat
dijadikan bukti jika suatu
masjid itu dinyatakan tua, salah
satunya dari bentuk kubah
yang berbentuk limas dan
tiangnya terbuat dari kayu
onglen. Selain itu susunan papan
dari kayu onglen pada kajang
yang mengelilingi bangunan
dalam masjid.
Pengamatan Sripo terhadap
beberapa masjid tua di Palembang
ini, jelas sekali bentuk dan
gaya bangunannya hampir sama
yakni bergaya budaya Palembang
asli. Gaya Palembang
pada bangunan masjid tua itu dapat
dilihat dari bangunan kubahnya
yang dipengaruhi bentuk
rumah limas dan susun kayu
kajang onglen memanjang
mengelilingi ruangan dalam masjid
seperti yang masih bisa kita
lihat di Masjid Lawang Kidul.
Masjid yang dibangun tahun
1891 atau 1310 Hijriyah oleh
Kiai Masagus H Abdul Hamid
Bin Masagus H Mahmud (Kiai
Muara Ogan atau Ki Merogan)
ini usianya sudah 114 tahun.
Masjid-masjid tua di Palembang
ini dibangun dengan
memperhatikan kondisi sosial
ekonomi masyarakat Palembang
ketika itu. Di mana aktivitas
ekonomi dan transportasi
ketika itu melalui sungai.
Keberadaan Sungai Musi tidak
bisa dipisahkan dengan ke-
Masjid Tua Butuh Sentuhan
 Mengandung Nilai Sejarah dan Budaya
beradaan masjid-masjid tua di
Palembang. Sungai merupakan
urat nadi kehidupan masyarakatnya
kala itu. Dibangunnya
Masjid Agung Sultan Mahmud
Badaruddin di pesisir Sungai
Musi menunjukkan kepada kita
bahwa arus transportasi satu-
satunya ketika itu adalah sungai.
Sungai menjadi tempat
berlangsungnya perdagangan
(pasar) di mana masyarakat
melakukannya di sungai di atas
perahu-perahu kajang.
Namun sayang, masjid-masjid
tua yang bernilai sejarah
dan budaya itu masih kurang
mendapat perhatian dari pemerintah.
Kecuali Masjid Agung
Sultan Mahmud Badaruddin Palembang.
Masjid yang dibangun
Sultan Mahmud Badaruddin
II ini sudah dinyatakan sebagai
Masjid Nasional, sehingga
perawatan dan pemeliharaannya
menjadi tanggungan pemerintah,
baik pusat maupun
daerah. Dengan kata lain tidak
perlu dikhawatirkan untuk
urusan pendanaannya. Contohnya
saja saat ini Masjid
Agung yang sudah mengalami
beberapa kali renovasi dan penambahan
bangunan itu menjadi
masjid kebanggaan masyarakat
Palembang.
Lain halnya dengan Masjid
Lawang Kidul, Masjid Ki Merogan
dan Masjid Mahmudiyah
(Suro). Masjid Lawang Kidul
sejak dibangun tahun 1891
atau 114-115 tahun silam, sampai
dengan tahun 2006 ini, baru
satu kali mendapat perhatian
serius pemerintah yakni pada
kepemimpinan periode ke III
tahun 1983-1987 di bawah asuhan
KHO Gadjah Nata.
Masjid yang terletak di Kelurahan
Lawang Kidul RT 22 Kecamatan
Ilir Timur II Palembang
ini bentuk aslinya masih
bisa dilihat dengan jelas. Bangunannya
berbentuk empat persegi
panjang dengan satu kubah
limas di atasnya. Kemudian
masjid ini diperluas dengan
membangun bangunan baru
berbentuk letter L mengelilingi
bentuk dua perempat bangunan
aslinya tapi tanpa mengubah
bentuk asli masjid.
Bangunan tambahan itu sampai
sekarang tidak banyak berubah
sepertinya kurang mendapat
perhatian dan terkesan
kusam. Tiang penyangganya
masih ada yang terbuat dari
tiang kayu bersegi empat dan
sebagian lagi tiang beton bersegi
bahkan atapnya seng.
Uniknya masjid ini, meskipun
bangunan tambahannya seperti
kurang terawat namun, bagian
dalam bangunan aslinya
cukup indah.
Kondisi yang dialami Masjid
Lawang Kidul ini juga dialami
masjid-masjid tua lainnya seperti
Masjid Mahmudiyah
(Masjid Suro) di 30 Ilir Palembang.
Masjid ini juga belum banyak
mendapat sentuhan serius
dari pemerintah. Bangunannya
masih berupa beton semen
yang lama.
Mansyur H Husin, Wakil Ke-
KOTA Palembang memiliki cukup banyak masjid yang
berusia 100 tahun ke atas. Sebut saja Masjid Agung Sultan
Mahmud Badaruddin, Masjid Kiai Merogan, Masjid Lawang
Kidul, bahkan Masjid Mahmudiyah (Suro) juga termasuk
masjid tua yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Seperti
apa kondisi masjid-masjid tua yang tersebar di beberapa
kawasan dalam Kota Palembang itu?. Berikut laporan Wartawan
Sriwijaya Post, Tarso, yang disajikan dalam edisi
Fokus minggu ini.
LAIN lagi dengan Masjid Ki
Merogan, masjid yang umurnya
lebih tua 15 tahun dari
Masjid Lawang Kidul ini dibangun
dulu oleh Ki Merogan beberapa
tahun kemudian sebelum
membangun Masjid Lawang
Kidul.
Bangunan awalnya masjid
yang terletak di Jl Ki Merogan
RT 01 Kelurahan Kertapati Palembang
ini tidak jauh beda dengan
Masjid Lawang Kidul. Hanya
saja masjid ini sempat mengalami
perubahan bentuk kubah
limas menjadi bundar kemudian
dirubah lagi menjadi
bentuk limas.
Nasib masjid ini juga lebih
beruntung daripada Masjid Lawang
Kidul, selain mendapat
bantuan pengusaha H Halim
dalam hal penambahan bangunan
dan renovasinya, sering juga
mendapat kunjungan pejabat
negara dan pejabat pemerintah
setempat seperti presiden,
menteri, gubernur dan
walikota.
Bahkan pembangunan per-
Renovasi Bantuan H Halim
luasan bangunan dan renovas
yang sekarang sedang dilakukan
pihak yayasan dengan bantuan
dari pengusaha Palembang,
H Halim. Keliling bangunan
masjid ini semuanya beton
yang dipadu dengan tiang-tiang
beton tambahan batu pualam
dibuat pintu dan jendela kaca.
Kondisinya beda sekali dengan
Masjid Lawang Kidul dan Suro.
Masagus (Mgs) Usman Ahmad,
Ketua Yayasan Masjid Kiai
Merogan ditemui Sripo, Sabtu
(23/9) mengatakan masjid ini
sudah dua kali mendapat bantuan
dari H Halim, baik pembangunan
perluasan bangunan
maupun renovasinya. "Yang
sekarang sedang kami lakukan
ini, membuat pintu dan jendela
mengelilingi bangunan dananya
juga dari bantuan pak H
Halim, pernah juga ada dibantu
pak Taufik Kiemas, suami ibu
Mega tahun 2005 lalu sebesar
Rp 10 juta," kata Usman Ahmad,
seraya menerangkan selama
ini Masjid Ki Merogan sudah
tiga kali direnovasi. Tahun
1950 renovasi kubah dari bentuk
Limas diganti bundar. Kemudian
tahun 1989 bantuan
tua Yayasan Masjid Lawang Kidul
ditemui Sripo kemarin
membenarkan jika Masjid Lawang
Kidul dibangun di pinggiran
sungai karena alasannya
adalah sumber air wudhu adalah
sungai, transportasi kala itu
juga di sungai termasuk jual beli
(perdagangan) dilakukan di
sungai.
"Dulu di belakang masjid ini
hutan semua, tidak ada jalan
masyarakat Palembang ini tinggal
di pinggiran sungai," ungkapnya
seraya menerangkan jika
semua masjid tua di Palembang
ini bentuk dan lokasi bangunannya
di pinggir sungai
alasannya sama karena transportasi,
sosial dan ekonomi
masyarakat ditentukan dengan
keberadaan sungai khususnya
Sungai Musi.
"Kalau bangunan tambahan
ini masih baru sekitar tahun
1983-1987 masa KHO Gadjah
Nata, belum banyak dipoles sejak
dibangunnya," ujar Mansyur
seraya mengakui Masjid Lawang
Kidul dirawat dan dipelihara
melalui dana swadaya masyarakat
dan sumbangan jamaah.
Mansyur Husin mengakui
pemerintah kabarnya mau
menggalakkan pariwisata sungai,
sehingga masjid-masjid di
bantaran Sungai Musi ini minimal
harus ditata dan direnovasi
lagi bagian-bagian bangunannya
yang menghadap ke
sungai. "Tapi kami belum tahu
dananya dari mana, kalau pemeliharaan
kecil-kecilan bisa
daja dananya dari sumbangan
jamaah dan warga setempat,"
ungkap Mansyur.
Memperhatikan kondisi
masjid-masjid tua di Palembang
yang memiliki nilai sejarah
dan budaya ini sudah selayaknya
pemerintah memberikan
sentuhannya. Supaya masjid-
masjid itu bukan saja menjadi
tempat ibadah umat melainkan
juga tempat pengkajian
ke Islaman dan juga aset sejarah
yang patut dipertahankan,
serta dirawat dengan baik
dan benar sesuai dengan fungsinya.***
MENURUT Mansyur H
Husin, Masjid Lawang Kidul
pada awalnya dikelola secara
keluarga. Sejak tahun 1968
pengelolaan masjid dialihkan
ke Yayasan Masjid dan pengurusnya
pun masuk orang-orang
yang bukan dari keluarga
pendirinya tetapi masyarakat
umum. "Sejak dikelola
Yayasan itulah masjid ini ditambahkan
bangunannya
Mengharap Pengkajian Keagamaan
bentuk Leter L, masa KHO Gadjah
Nata tahun 1983-1987."
Diakuinya, saat ini fasilitas
masjid cukup memadai, untuk
sarana tikar dan karpet cukup,
penerangan, penegras suara
bagus. Hanya saja masih menjadi
pemikiran yayasan adalah
tempat dan sarana pengkajian
ke Islaman seperti yang ada di
Masjid Agung.
"Kami juga berniat untuk
membangun tempat pusat
pengkajian dalam rangka
mencetak cendikiawan muslim,
selama ini kegiatan di sini
selain dari shalat pengajian
biasa," papar Mansyur sembari
berharap pemerintah
mau membangun fasilitas
tambahan di Masjid Lawang
Kidul khusus untuk kegiatan
pengkajian atau sejenisnya.***
dari H Halim, kubah bundar diubah
lagi kembali kepada bentuk
aslinya. "Pada tahun yang
sama juga direnovasi bangunan
kelilingnya," terang Usman
Ahmad.***

Masjid Lawang Kidul


Masjid Lawang Kidul adalah salah satu masjid tua di Kota Palembang, Masjid ini terletak di tepian Sungai Musi di semacam tanjung yang terbentuk oleh pertemuannya dengan muara Sungai Lawangkidul, di kawasan Kelurahan Lawangkidul, Kecamatan Ilir Timur II.Rumah ibadah ini dibangun dan diwakafkan ulama Palembang kharismatik, Ki. Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs. H. Mahmud alias K. Anang pada tahun 1310 H (1890 M). Ulama ini lebih dikenal sebagai Kiai Merogan.Panggilan itu merujuk pada tempat tinggal dan aktivitasnya yang banyak di kawasan muara Sungai Ogan (salah satu anak Sungai Musi) di kawasan Seberang Ulu.Ayahnya adalah seorang ulama dan pedagang yang sukses. Kiai Merogan dilahirkan pada tahun 1811 M dan wafat pada 31 Oktober 1901. Ulama ini dimakamkan di areal Masjid Ki Merogan, salah satu masjid yang dibangun selama syiar Islamnya. Selama berdakwah sebelumnya, dia menetap di Mekkah, Saudi Arabia, tetapi mendapat bisikan untuk kembali ke kampung halaman bersama murid-muridnya, Kiai Merogan menggunakan perahu hingga ke daerah pelosok di Sumatera Selatan.Karena itu pula, selain Masjid Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan di Palembang serta tiga pemondokan jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki peninggalan berupa masjid di Dusun Pedu Pemulutan OKI, dan masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI). Sayang, kebakaran hebat pernah menghanguskan Kampung Karangberahi pada antara tahun 1964-1965. Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya tulis Kiai Merogan, yang makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya membawa berkah bagi para peziarah yang memanjatkan doa di makam itu.Sebagai salah satu warisannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih menampakkan kekukuhan dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini. Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai lebih kurang 20 X 20 meter itu, sebagian besar masih asli. Namun, terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40 X 41 meter. Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian besar materialnya asli, ada beberapa bagian yang terpaksa diganti. Bagian yang diganti itu, terutama bagian atapnya yang semula genting belah bambu. Karena genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan genting kodok.Konon, material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan pasir. Sedangkan bahan kayunya tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang lainnya? terbuat dari kayu unglen. Interior mesjid, juga masih menampakkan keaslian. Empat saka guru memilik ketinggian delapan meter dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih kurang enam meter. Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atap sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.

Masjid Peninggalan Kiai Marogan; Objek Wisata Mendukung Visit Musi 2008


"Bagi penganut agama Islam di Sumatera Selatan
Khususnya di Palembang keberadaan Masjid Kiai Marogan
jadi bukti kebesaran Ilahi dan wisata sungai yang menakjubkan"

Oleh: Masagus Ahmad Fauzi, S.Pd., MM. (Ketua Yayasan Kiai Marogan Palembang)

Keberadaan Masjid peninggalan Kiai Marogan Palembang sebagai salah satu kawasan wisata religi di Indonesia khususnya Sumatera Selatan sudah tak terbantahkan lagi. Pamor Masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul, yang telah diwakafkan untuk umat Islam ini, mampu mengundang ribuan pengunjung dari dalam maupun luar kota Palembang, seperti Lampung, Jambi, Jakarta dan Pulau Jawa. Tak jarang pada momen-momen khusus seperti hari Jum’at, pada bulan Sya’ban dan pada saat peringatan Haul Kiai Marogan pada Bulan Rajab, pengunjung lebih banyak dari biasanya. Mereka datang ada yang sekedar sholat berjama’ah, I’tikaf, ataupun berziarah ke makam Kiai Marogan yang terletak satu kompleks dengan Masjid. Di antara yang datang itu mulai dari masyarakat biasa, para Alim Ulama, Pengusaha, bahkan pejabat seperti Walikota, Gubernur, tokoh politik Taufiek Kiemas, bahkan sebelum menjadi Presiden RI, sewaktu masih menjadi Pangdam II Sriwijaya, Bapak Susilo Bambang Yudoyono pernah sholat dan berziarah ke makam Waliyullah tersebut.
Masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul merupakan masjid yang tertua setelah masjid agung di Palembang. Sebagai salah satu peninggalannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih menampakkan kekukuhan dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini. Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai lebih kurang 20 X 20 meter itu, sebagian besar masih asli. Namun, terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40 X 41 meter. Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian besar materialnya asli, ada beberapa bagian yang terpaksa diganti. Bagian yang diganti itu, terutama bagian atapnya yang semula genting belah bambu. Karena genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan genting kodok. Konon, material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan pasir. Sedangkan bahan kayunya tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang lainnya terbuat dari kayu unglen. Interior mesjid, juga masih menampakkan keaslian. Empat saka guru memiliki ketinggian delapan meter dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih kurang enam meter. Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atap sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.
Masjid berikutnya ialah masjid Jami’ Kyai Marogan. Masjid ini dibangun lebih dahulu daripada Masjid Lang Kidul. Pada masa lalu, daerah tempat berdirinya masjid dengan atap bertumpang dua dan puncak mustaka--sama dengan Masjid Lawang Kidul--ini bernama Kampung Karang Berahi. Apakah memang karakter lokasi masjid pada zaman itu ataukah memang kekhasan Kiai Merogan, masjid ini terletak di muara Sungai Ogan ke Sungai Musi. Jika diamati, posisinya yang demikian, juga ketinggian tanah yang lebih dibanding lahan sekitarnya itu sama persis dengan Masjid Lawang Kidul. Letaknya sekitar 13 meter dari Sungai Musi dan 75 meter sebelah selatan Sungai Ogan. Penamaannya diambil dari nama julukan bagi ulama besar Palembang yang bernama lengkap Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud. Ukuran asli masjid ini sebelum dilakukan renovasi dan perluasan adalah 18,8 m X 19,4 m. Sama seperti Masjid Lawang Kidul dan Masjid Sungai Lumpur, bangunannya disangga empat saka guru berbentuk persegi delapan berukuran 0,3 X 0,27 m. Tingginya mencapai 5 meter. Saka guru dikelilingi dua belas tiang penunjang setinggi 4,2 meter dan besar 0,25 m x 0,25 m. Bagian-bagian masjid sebagian besar masih asli. Antara lain, saka guru dan 12 tiang penunjangnya, rangka bangunan atap, langit-langit, dan kuda-kuda. Mimbar khas masjid ini juga masih menampakkan keaslian, baik bahan maupun hiasannya. Di samping itu, beduk yang digunakan hingga sekarang berukuran panjang 2,5 m dan berdiameter 0,8 meter. Meskipun terletak di tanah yang lebih tinggi dibandingkan lahan sekitarnya, menurut keterangan masyarakat dan keluarga sang ulama, lahan masjid ini awalnya adalah lebak. Kemudian, saat masjid didirikan, dilakukan penimbunan hingga tanahnya mengeras.

Kedua masjid ini dibangun oleh Kiai Masagus Haji Abdul Hamid dengan hasil jerih payahnya sendiri yaitu usaha bisnis sawmill kayu gesek. Kiai Muara Ogan adalah putra seorang bangsawan Palembang, ayahnya Masagus Mahmud merupakan keturunan dari Sultan-sultan Palembang Darussalam. Namun meskipun ia seorang pengusaha sukses dan keturunan bangsawan, Kiai Marogan dikenal sebagai seorang ulama yang zuhud dan tawadhu’ serta suka membantu masyarakat.
Sebelumnya dia menetap di Mekkah Saudi Arabia, tetapi mendapat bisikan untuk kembali ke kampung halaman bersama murid-muridnya, Kiai Merogan menyebarkan agama Islam di Sumatera Selatan dengan menggunakan perahu hingga ke daerah pelosok di Sumatera Selatan. Karena itu pula, selain Masjid Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan di Palembang serta tiga pemondokan jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki peninggalan berupa masjid di Dusun Pedu Pemulutan OKI, dan masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI). Sayang, kebakaran hebat pernah menghanguskan Kampung Karangberahi antara tahun 1964-1965. Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya tulis Kiai Merogan,
Kiai yang lahir sekitar 1229 H dan meninggal 17 Rajab 1319 H lebih kurang 31 Oktober 1901 dalam usia sekitar 90 tahun dimakamkan di samping masjid Marogan. Gubah atau Makam dengan ukuran 1,75 meter dan lebar 0,82 meter ini, sampai sekarang masih ramai dikunjungi peziarah dari penjuru Sumatera Selatan dan sekitarnya. Makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya membawa berkah bagi para peziarah yang memanjatkan doa di makam itu. Setiap tahun tepatnya di bulan Rajab, masyarakat mengadakan acara peringatan haul Kiai untuk mengenang jasa beliau dalam menyebarkan syiar Islam di Sumatera Selatan.
Selain dikenang lewat kedua masjidnya, juga akhlak luhurnya, Kiai Marogan juga memberi pengaruh yang cukup kuat terhadap tradisi masyarakat Palembang seperti kebiasaan para Ibu-ibu ketika menimang-nimang bayi (baca: menidurkan) sambil mendendangkan zikir Lailahaillallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin. Zikir ini merupakan amalan Kiai Marogan seperti yang dipercaya oleh para orang tua di Palembang.
Saat ini menurut Mgs. A. Fauzi, S.Pd, selaku zuriat dan Pembina Yayasan Kiai Marogan, dalam rangka melanjutkan dakwah sang Kiai, zuriatnya yang tergabung di dalam Yayasan Kiai Marogan (YKM), aktif menggiatkan pengajian agama di kedua masjidnya tersebut seperti pengajian al-Quran, fiqih, dan seterusnya, dan juga kegiatan sosial seperti membagi-bagikan sembako, bantuan dana ZIS kepada para fakir miskin.
Seiring dengan program Visit Musi 2008 yang dicanangkan oleh walikota Palembang dan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan, mulai tampak menggeliat kunjungan wisata melalui jalur sungai Musi dengan naik kapal mulai dari Benteng Kuto Besak akan terlihat rumah rakit yang sudah berhias di cat warna warni menuju Masjid Kiai Marogan dilanjutkan ke jembatan Musi II balik kembali terlihat Masjid sang Kiai, menuju Benteng Kuto Besak bila dilanjutkan akan terlihat Masjid Lawang Kidul 5 ilir yang dibangun sang Kiai yang bersebelahan dengan Pelabuhan Boom Baru terus menuju Pulau Kemaro yang juga peninggalan Sang Kiai Marogan.
Dalam menunjang program visit Musi 2008, pemerintah kota Palembang telah menetapkan kedua masjid peninggalan Kiai Marogan sebagai objek wisata ziarah sungai Musi. Saat ini tepat di depan masjid, Pemerintah telah mendirikan Puskesmas terapung untuk menambah daya tarik masjid yang terlihat indah dari tengah sungai Musi.

assalamu'alaikum