Masjid Tua Butuh Sentuhan
SRIWIJAYA POSTMinggu, 24 September 2006 FOKUS
KEBERADAAN masjid-masjid
tua di Kota Palembang sampai
saat ini masih tetap menjadi
tempat ibadah utama masyarakat.
Beberapa bangunan
masjid tua ini sudah banyak
yang mengalami penambahan
dari bangunan aslinya. Tetapi
ada juga bangunan awalnya tidak
diubah. Hanya direnovasi
dan pergantian bahan dari kayu
ke beton semen atau penambahan
bangunan baru yang
mengelilinginya untuk menampung
jumlah jamaah yang
terus bertambah.
Perluasan dan penambahan
bangunan baru masjid-masjid
tua itu dilakukan untuk menampung
bertambahnya jamaah,
khususnya jamaah sholat
Jumat dan tarawih di Bulan Suci
Ramadhan. Contoh yang dapat
dijadikan bukti jika suatu
masjid itu dinyatakan tua, salah
satunya dari bentuk kubah
yang berbentuk limas dan
tiangnya terbuat dari kayu
onglen. Selain itu susunan papan
dari kayu onglen pada kajang
yang mengelilingi bangunan
dalam masjid.
Pengamatan Sripo terhadap
beberapa masjid tua di Palembang
ini, jelas sekali bentuk dan
gaya bangunannya hampir sama
yakni bergaya budaya Palembang
asli. Gaya Palembang
pada bangunan masjid tua itu dapat
dilihat dari bangunan kubahnya
yang dipengaruhi bentuk
rumah limas dan susun kayu
kajang onglen memanjang
mengelilingi ruangan dalam masjid
seperti yang masih bisa kita
lihat di Masjid Lawang Kidul.
Masjid yang dibangun tahun
1891 atau 1310 Hijriyah oleh
Kiai Masagus H Abdul Hamid
Bin Masagus H Mahmud (Kiai
Muara Ogan atau Ki Merogan)
ini usianya sudah 114 tahun.
Masjid-masjid tua di Palembang
ini dibangun dengan
memperhatikan kondisi sosial
ekonomi masyarakat Palembang
ketika itu. Di mana aktivitas
ekonomi dan transportasi
ketika itu melalui sungai.
Keberadaan Sungai Musi tidak
bisa dipisahkan dengan ke-
Masjid Tua Butuh Sentuhan
Mengandung Nilai Sejarah dan Budaya
beradaan masjid-masjid tua di
Palembang. Sungai merupakan
urat nadi kehidupan masyarakatnya
kala itu. Dibangunnya
Masjid Agung Sultan Mahmud
Badaruddin di pesisir Sungai
Musi menunjukkan kepada kita
bahwa arus transportasi satu-
satunya ketika itu adalah sungai.
Sungai menjadi tempat
berlangsungnya perdagangan
(pasar) di mana masyarakat
melakukannya di sungai di atas
perahu-perahu kajang.
Namun sayang, masjid-masjid
tua yang bernilai sejarah
dan budaya itu masih kurang
mendapat perhatian dari pemerintah.
Kecuali Masjid Agung
Sultan Mahmud Badaruddin Palembang.
Masjid yang dibangun
Sultan Mahmud Badaruddin
II ini sudah dinyatakan sebagai
Masjid Nasional, sehingga
perawatan dan pemeliharaannya
menjadi tanggungan pemerintah,
baik pusat maupun
daerah. Dengan kata lain tidak
perlu dikhawatirkan untuk
urusan pendanaannya. Contohnya
saja saat ini Masjid
Agung yang sudah mengalami
beberapa kali renovasi dan penambahan
bangunan itu menjadi
masjid kebanggaan masyarakat
Palembang.
Lain halnya dengan Masjid
Lawang Kidul, Masjid Ki Merogan
dan Masjid Mahmudiyah
(Suro). Masjid Lawang Kidul
sejak dibangun tahun 1891
atau 114-115 tahun silam, sampai
dengan tahun 2006 ini, baru
satu kali mendapat perhatian
serius pemerintah yakni pada
kepemimpinan periode ke III
tahun 1983-1987 di bawah asuhan
KHO Gadjah Nata.
Masjid yang terletak di Kelurahan
Lawang Kidul RT 22 Kecamatan
Ilir Timur II Palembang
ini bentuk aslinya masih
bisa dilihat dengan jelas. Bangunannya
berbentuk empat persegi
panjang dengan satu kubah
limas di atasnya. Kemudian
masjid ini diperluas dengan
membangun bangunan baru
berbentuk letter L mengelilingi
bentuk dua perempat bangunan
aslinya tapi tanpa mengubah
bentuk asli masjid.
Bangunan tambahan itu sampai
sekarang tidak banyak berubah
sepertinya kurang mendapat
perhatian dan terkesan
kusam. Tiang penyangganya
masih ada yang terbuat dari
tiang kayu bersegi empat dan
sebagian lagi tiang beton bersegi
bahkan atapnya seng.
Uniknya masjid ini, meskipun
bangunan tambahannya seperti
kurang terawat namun, bagian
dalam bangunan aslinya
cukup indah.
Kondisi yang dialami Masjid
Lawang Kidul ini juga dialami
masjid-masjid tua lainnya seperti
Masjid Mahmudiyah
(Masjid Suro) di 30 Ilir Palembang.
Masjid ini juga belum banyak
mendapat sentuhan serius
dari pemerintah. Bangunannya
masih berupa beton semen
yang lama.
Mansyur H Husin, Wakil Ke-
KOTA Palembang memiliki cukup banyak masjid yang
berusia 100 tahun ke atas. Sebut saja Masjid Agung Sultan
Mahmud Badaruddin, Masjid Kiai Merogan, Masjid Lawang
Kidul, bahkan Masjid Mahmudiyah (Suro) juga termasuk
masjid tua yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Seperti
apa kondisi masjid-masjid tua yang tersebar di beberapa
kawasan dalam Kota Palembang itu?. Berikut laporan Wartawan
Sriwijaya Post, Tarso, yang disajikan dalam edisi
Fokus minggu ini.
LAIN lagi dengan Masjid Ki
Merogan, masjid yang umurnya
lebih tua 15 tahun dari
Masjid Lawang Kidul ini dibangun
dulu oleh Ki Merogan beberapa
tahun kemudian sebelum
membangun Masjid Lawang
Kidul.
Bangunan awalnya masjid
yang terletak di Jl Ki Merogan
RT 01 Kelurahan Kertapati Palembang
ini tidak jauh beda dengan
Masjid Lawang Kidul. Hanya
saja masjid ini sempat mengalami
perubahan bentuk kubah
limas menjadi bundar kemudian
dirubah lagi menjadi
bentuk limas.
Nasib masjid ini juga lebih
beruntung daripada Masjid Lawang
Kidul, selain mendapat
bantuan pengusaha H Halim
dalam hal penambahan bangunan
dan renovasinya, sering juga
mendapat kunjungan pejabat
negara dan pejabat pemerintah
setempat seperti presiden,
menteri, gubernur dan
walikota.
Bahkan pembangunan per-
Renovasi Bantuan H Halim
luasan bangunan dan renovas
yang sekarang sedang dilakukan
pihak yayasan dengan bantuan
dari pengusaha Palembang,
H Halim. Keliling bangunan
masjid ini semuanya beton
yang dipadu dengan tiang-tiang
beton tambahan batu pualam
dibuat pintu dan jendela kaca.
Kondisinya beda sekali dengan
Masjid Lawang Kidul dan Suro.
Masagus (Mgs) Usman Ahmad,
Ketua Yayasan Masjid Kiai
Merogan ditemui Sripo, Sabtu
(23/9) mengatakan masjid ini
sudah dua kali mendapat bantuan
dari H Halim, baik pembangunan
perluasan bangunan
maupun renovasinya. "Yang
sekarang sedang kami lakukan
ini, membuat pintu dan jendela
mengelilingi bangunan dananya
juga dari bantuan pak H
Halim, pernah juga ada dibantu
pak Taufik Kiemas, suami ibu
Mega tahun 2005 lalu sebesar
Rp 10 juta," kata Usman Ahmad,
seraya menerangkan selama
ini Masjid Ki Merogan sudah
tiga kali direnovasi. Tahun
1950 renovasi kubah dari bentuk
Limas diganti bundar. Kemudian
tahun 1989 bantuan
tua Yayasan Masjid Lawang Kidul
ditemui Sripo kemarin
membenarkan jika Masjid Lawang
Kidul dibangun di pinggiran
sungai karena alasannya
adalah sumber air wudhu adalah
sungai, transportasi kala itu
juga di sungai termasuk jual beli
(perdagangan) dilakukan di
sungai.
"Dulu di belakang masjid ini
hutan semua, tidak ada jalan
masyarakat Palembang ini tinggal
di pinggiran sungai," ungkapnya
seraya menerangkan jika
semua masjid tua di Palembang
ini bentuk dan lokasi bangunannya
di pinggir sungai
alasannya sama karena transportasi,
sosial dan ekonomi
masyarakat ditentukan dengan
keberadaan sungai khususnya
Sungai Musi.
"Kalau bangunan tambahan
ini masih baru sekitar tahun
1983-1987 masa KHO Gadjah
Nata, belum banyak dipoles sejak
dibangunnya," ujar Mansyur
seraya mengakui Masjid Lawang
Kidul dirawat dan dipelihara
melalui dana swadaya masyarakat
dan sumbangan jamaah.
Mansyur Husin mengakui
pemerintah kabarnya mau
menggalakkan pariwisata sungai,
sehingga masjid-masjid di
bantaran Sungai Musi ini minimal
harus ditata dan direnovasi
lagi bagian-bagian bangunannya
yang menghadap ke
sungai. "Tapi kami belum tahu
dananya dari mana, kalau pemeliharaan
kecil-kecilan bisa
daja dananya dari sumbangan
jamaah dan warga setempat,"
ungkap Mansyur.
Memperhatikan kondisi
masjid-masjid tua di Palembang
yang memiliki nilai sejarah
dan budaya ini sudah selayaknya
pemerintah memberikan
sentuhannya. Supaya masjid-
masjid itu bukan saja menjadi
tempat ibadah umat melainkan
juga tempat pengkajian
ke Islaman dan juga aset sejarah
yang patut dipertahankan,
serta dirawat dengan baik
dan benar sesuai dengan fungsinya.***
MENURUT Mansyur H
Husin, Masjid Lawang Kidul
pada awalnya dikelola secara
keluarga. Sejak tahun 1968
pengelolaan masjid dialihkan
ke Yayasan Masjid dan pengurusnya
pun masuk orang-orang
yang bukan dari keluarga
pendirinya tetapi masyarakat
umum. "Sejak dikelola
Yayasan itulah masjid ini ditambahkan
bangunannya
Mengharap Pengkajian Keagamaan
bentuk Leter L, masa KHO Gadjah
Nata tahun 1983-1987."
Diakuinya, saat ini fasilitas
masjid cukup memadai, untuk
sarana tikar dan karpet cukup,
penerangan, penegras suara
bagus. Hanya saja masih menjadi
pemikiran yayasan adalah
tempat dan sarana pengkajian
ke Islaman seperti yang ada di
Masjid Agung.
"Kami juga berniat untuk
membangun tempat pusat
pengkajian dalam rangka
mencetak cendikiawan muslim,
selama ini kegiatan di sini
selain dari shalat pengajian
biasa," papar Mansyur sembari
berharap pemerintah
mau membangun fasilitas
tambahan di Masjid Lawang
Kidul khusus untuk kegiatan
pengkajian atau sejenisnya.***
dari H Halim, kubah bundar diubah
lagi kembali kepada bentuk
aslinya. "Pada tahun yang
sama juga direnovasi bangunan
kelilingnya," terang Usman
Ahmad.***
Posted in: on Minggu, 03 Februari 2008 at di 20.19